Jakarta,Liputannusantara.id-3 Juni 2025 — Sebuah dugaan perlakuan diskriminatif terhadap siswa terjadi di Yayasan Pendidikan “PETRA ALPHA”, yang beralamat di Komplek Taman Alfa Indah Blok Ano 11, Joglo, Tangerang. Seorang siswa kelas 8 berinisial DS dilaporkan mengalami perlakuan tidak adil dari pihak sekolah karena keterlambatan dalam pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan denda yang dikenakan.

Menurut keterangan orang tua DS kepada media, anaknya telah dirumahkan oleh pihak sekolah dan dipisahkan dari lingkungan belajar bersama teman-temannya. “Anak saya merasa tertekan dan stres karena tidak bisa belajar bersama teman-temannya. Ia diminta belajar sendiri, terpisah, dan merasa dikucilkan,” ujar orang tua DS.
Tim media melakukan konfirmasi langsung kepada pihak sekolah pada kunjungan yang dilakukan pada hari Senin, 26 Mei 2025. Dalam pertemuan dengan salah satu perwakilan sekolah, Bapak Yulius, pihak sekolah membenarkan bahwa denda memang diberlakukan atas keterlambatan pembayaran SPP.
Dugaan ini mengarah pada pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 9 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam suasana yang aman dan menyenangkan, tanpa diskriminasi.
Tindakan pemisahan DS dari proses belajar mengajar reguler juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan tidak boleh ada perlakuan berbeda yang menghambat akses terhadap pendidikan.
Ironisnya, berdasarkan informasi yang diterima, sekolah yang dikelola oleh Yayasan PETRA ALPHA diketahui menerima bantuan dana pendidikan dari pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang seharusnya dapat meringankan beban biaya pendidikan bagi peserta didik.
Atas keterlambatan pelunasan SPP yang sudah telat 3 bulan Pihak sekolah mengenakan denda sebesar Rp.1.200.000
Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan dapat digunakan menjerat pelaku pungutan liar (Pungli) yang melakukan pemerasan dan ancaman kekerasan . ancaman pidana paling lama 9 tahun bagi pelaku pungli yang bukan anggota pihak berwenang atau Pemerintah.
Berdasarkan Permendikbud no 44 Tahun 2012 huruf dan C menegaskan berbagai jenis pungli yang dilarang dilingkungan sekolah diataranya termasuk denda,dan uang pendaftaran.dan Permendikbud no 75 tahun 2016 pasal 11 huruf a.tentang komite sekolah mengatur tentang larangan,sanksi pungutan liar terhadap pungutan dan sumbangan pendidikan yang menyatakan bahwa:Pungutan tidak boleh dilakukan kepada peserta didik,dan orang tua dan wali murid yang tidak mampu secara ekonomis.
Kasus ini memunculkan pertanyaan serius mengenai komitmen lembaga pendidikan dalam menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Diharapkan pihak berwenang, termasuk Dinas Pendidikan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), segera melakukan penyelidikan mendalam terhadap kasus ini demi kepentingan terbaik anak dan penegakan hukum di bidang pendidikan.
(Dorhan)