Dr. V. Indra Sanjaya, Pr. UNIVERSITAS SANATA DHARMA : Teologia Sistematik
Jakarta, November, Liputan Nusantara(LN),Petani pahlawan pangan, Guru pahlawan Pendidikan, Romo mngun Pahlawan Kemanusiaan. Dalam webinar Rekoleksi bulanan Ikatan Alumni Filsafat Teologi Yogyakarta ( IKAPITE ) 11 November 2024.
November adalah bulan yang dikhususkan untuk mengenang para pahlawan. 1 November gereja berdoa bagi semua orang Kudus, para pahlawan iman kita. 2 November kita mendoakan saudara-saudari kita yang sudah meninggal. 10 November, kita mengenang para pahlawan bangsa.
Seperti kata Campbell, yang kita doakan dan kita kenang pada bulan November ini, bukan hanya saudara dan saudari kita yang sudah meninggal. Namun mereka yang memberikan hal yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ayah, ibu, adik, kakak, sahabat dan teman yang kita kenal, kita ratapi kepergiannya, karena mereka semua para “pahlawan” yang telah memberi banyak untuk kita, melebihi diri mereka sendiri.
Pada bulan November ini kata panitia, kami ingin mengajak Anda semua berekoleksi mengenai nilai kepahlawanan. Kami mengundang para narasumber yang ingin mensharingkan pengalaman iman dan kesaksian pribadinya bertemu para “pahlawan sejati” yang mungkin selama ini tidak pernah mendapatkan tanda jasa seperti : para petani, para guru, para pembela keadilan, para pekerja bagi yang miskin dan terpinggirkan.
Rekoleksi berasal dari kata recollect yang berari mengingat kembali atau mengumpulkan kembali.
Rekoleksi ialah : kegiatan yang dilakkan untuk menenangkan pikiran ,mencari ketenangan batin dan melatih hidup rohani.
Sekeluimit tentang nara sumber :
Narasumber atau inspirator pertama adalah Romo Indra Sanjaya : Doktor Kitab Suci lulusan Gregoriana dan Biblicum Roma. Inspirator kedua ibu Sri Wahyaningsih, anak didik Romo Mangun, pendiri dan pengasuh Sanggar Anak Alam(Salam). Narasumber ketiga adalah Romo Jesuit yang bekerja di Provinsi Jesuit Amerika Barat. Ia dosen Comparative Law di Law Creighton University School of Law, Omaha. Namanya : Romo Stefanus Hendrianto, S.J., Ph.D. Sebelum menjadi imam, di masa reformasi tahun 1998 ia dikenal sebagai Hendri Kuok tokoh PRD. Narsum rekoleksi ini seolah mewakili kerinduan sebagian besar dari kita : memiliki pahlawan sejati yang hanya memberikan diri untuk untuk Tuhan, bangsa, negara dan sesama dengan habis-habisan.
Romo Mangun bersama anak-anak SALAM Lawen
Yohanes Padmana Hapsara Jelantik Pr.
Organisai Dr. V. Indra Sanjaya, Pr. Matakuliah yang Diampu : Program Sarjana Pengantar ke dalam Perjanjian Lama Kitab Taurat-Sejarah Kitab Kebijaksanaan Kitab Nabi-nabi Mazmur dan Musik Liturgi ,Metode Tafsir Kitab Suci Apokaliptik
Program Magister : Kitab Suci dan Teks-teks Lain Kitab Suci dalam Hidup Gereja Topik-topik Aktual Bioetika
Pendidikan S1 Teologi, Universitas Sanata Dharma (1994) Licentiate in Biblical Science – Pontifical Biblical Institute (2000) Doctorate in Theology – Pontifical Gregorian University (2007).
Fungsi di Fakultas Dosen Pembimbing Akademik . Tugas Lain di Luar Fakultas Anggota Lembaga Biblika Indonesia, Anggota Komisi Teologi KWI.
Menelaah Pendidikan bersama Sri Wahyaningsih, Pendiri SALAM Yogyakarta
Banyak anak putus sekolah dan kurangnya kepedulian orangtua terhadap pendidikan, menjadi latar belakang berdirinya Sanggar Anak Alam(SALAM)
Jogjakarta, 1983
Tidak begitu saja Sri Wahyaningsih, atau kerap dipanggil Wahya, memutuskan untuk hijrah ke Lawen, Banjarnegara dan merintis sanggar belajar di sana. Perempuan kelahiran 19 Desember 1961 ini tumbuh dalam kultur masyarakat agraris yang kental di Karangdowo, Klaten. Semenjak duduk di bangku SMA, keprihatinannya akan kehidupan wong cilik di perkotaan kerap mengusik batinnya. Keprihatinan inilah yang membuatnya tergerak untuk membantu Romo YB Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam pelayanan masyarakat di Lembah Code, Yogyakarta di tahun 1983.
SALAM (Sanggar Anak Alam) berdiri pada tahun 1988 di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara, Perkembangannya SALAM metemorfosa menjadi komunitas pemuda “ANANE29” sampai saat ini.
Tepat setelah ia menikah di medio 1987 Wahya mantap untuk hijrah ke desa suaminya. Romo Mangun secara pribadi juga sangat mendukung langkah yang dipilihnya ini. Pesannya kepada Wahya singkat: “ Kalau niatmu sudah bulat dan kamu percaya dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat disana, ya segeralah tidak usah ditunda-tunda. nanti aku nengok kesana” kata romo Mangun kepada Wahya.
Beberapa bulan setelah Wahya memulai kegiatannya di Desa Lawen, Banjarnegara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya Romo Mangun datang berkunjung bersama beberapa kawan. Sajian masakan rumah yang khas dan suasana desa yang asri, tak ayal membuat Romo Mangun dan jatuh cinta. Rencana tinggal yang awalnya 1 minggu molor menjadi 10 hari. Lalu disambung kunjungan beberapa kali dikesempatan berikutnya.
TK Tarakanita 2 Jakarta.
Disela kunjungannya, Romo Mangun banyak berbincang dengan bapak mertua Wahya. Bahkan Romo Mangun sempat mengutarakan niat untuk membeli tanah dan membangun rumah agar ia bisa menghabiskan masa tuanya di Lawen. Romo Mangun juga berniat membangun instalasi pembangkit listrik bertenaga air melihat Lawen kaya akan potensi tersebut. Gayung bersambut. Bapak pun berniat untuk menghibahkan tanah untuk Romo Mangun sebanyak yang dibutuhkan. Rencana ini akan kembali dibicarakan sekembalinya Romo Mangun dari Belanda.
Namun, kabar buruk, kondisi kesehatan Romo Mangun menurun drastis sekembalinya ia dari Belanda. Beberapa kondisi, salah satunya jauhnya akses Lawen ke rumah sakit, menyebabkan niat Romo Mangun hijrah ke Lawen kandas.
Meskipun begitu, dukungan Romo Mangun terhadap Wahya dan sanggar belajar di Lawen tak pernah kandas. Salah satunya dengan mengirim sebuah sketsa rumah tinggal untuk Wahya. Sketsa rumah direspon cepat oleh Wahya dengan membawa beberapa tukang untuk bertemu langsung dengan Romo untuk berkonsultasi.
Pesan Romo Mangun singkat: jadilah kreatif dan manfaatkan yang ada di sekitar. Maka berbekal sketsa, Wahya membangun rumah pertamanya tepat berhadapan dengan ‘ruang kelas’ pendopo mertuanya. Rumah itu dibangun dengan dominasi material bambu, material yang sangat mudah didapat di Lawen.
Selain kerap mengirim tulisannya yang dimuat di media, bahan-bahan bacaan dan alat peraga, secara diam-diam Romo Mangun juga merekomendasikan Wahya sebagai fellow Ashoka. Maka di tahun 1991, tepat 3 tahun setelah aktifitas sanggar belajar di Lawen di rintis, Wahya menerima penghargaan fellow Ashoka untuk kriteria pendidikan rakyat.
Pengalaman Sri Wahyaningsih di Lawen pada kurun 1988 -1996 menjadi pondasi yang penting dalam membangun pendidikan SALAM hingga hari ini. Lawen membawanya menemukan empat pilar dalam pendidikan dasar yakni : Pangan, Kesehatan, Lingkungan hidup dan Sosial Budaya. Inilah sekolahnya yang sesungguhnya: sekolah kehidupan.
Sri Wahyaningsih bersama suaminya menggagas Sanggar Anak Alam di Nitiprayan, Ngestiharjo, Kabupaten Bantul. Pupuk konsep pendidikan ala Romo Mangun disebarkan di sana. Menumbuh dan menyuburkembangkan anak secara manusiawi dan tidak kekanak-kanakan atau sok dewasa. Romo Mangun merupakan guru sekaligus sahabat bagi Sri Wahyaningsih bahkan sejak belum menikah. Romo Mangun acapkali berkunjung ke rumah mereka ketika Sanggar Anak Alam masih berlokasi di Banjarnegara Jawa Tengah. Mereka berkolaborasi merumuskan ide kreatif dan inspiratif pendidikan anak-anak.
Niscaya menghidupkan kembali gagasan Romo Mangun merupakan upaya yang bagus dan niat yang mulia. Bagaimanapun bangsa Indonesia yang besar ini memerlukan sosok guru bangsa untuk diteladani. Romo Mangun merupakan salah seorang dari guru bangsa itu. Beragam kegiatan mampu menjadi saluran mereaktualisasikan nilai-nilai Mangunwijaya. Melalui diskusi ringan terbatas di rumahnya Wisma Kuwera 14 Yogyakarta, mengajak anak-anak muda menulis buku, mengadakan lomba, dan sampai menyelenggarakan forum di hotel berbintang. Semuanya bagus, mulia, dan berdampak positif. Namun tetaplah kurang lengkap dan kurang pas apabila memperbincangkan Romo Mangun sebatas menghadirkan narasumber yang bergelar akademis. Banyak alasan yang mengkonfirmasi ini.
Padmana Hapsara Jelantik yang dikenal dengan panggilan Romo Jelantik adalah saat ini bertugas di Kapel RS Gotong Royong Surabaya, sebelum bertugas di Kapel RS Gotong Royong, beliau menjadi kepala Paroki Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) Surabaya pada periode tahun 2007-2012. Pastur tersebut dikenal dengan ceramahnya yang singkat dan berbobot serta kesukaannya pada music
Padmana Hapsara Jelantik menerima tahbisan Imamat pada tanggal 22 Februari 1983 di Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya. Ia menempuh studi lanjut di Roma pada bulan Juni 1994
Konser Paskah Pertama di Surabaya
Romo Jelantik mencetuskan ide untuk mengagendakan konser Paskah pertama di Surabaya yang berlangsung pada tanggal 14 April 2012. Konser diadakan di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, dan dimeriahkan oleh Eliata Choir and Orchestra dan St. Hendrikus Handbell Choir. Menurut Ben Santosa, Humas Eliata Choir, ide tersebut diangkat oleh Romo Jelantik antara lain dikarenakan kegemaran pastur tersebut pada music
Romo Jelantik bersama Romo Satrio dan dua siswi SMAK St Hendrikus, Surabaya, mencetuskan ide diadakannya Solidarity Concert dengan judul “At the Right Time”. Acara ini diadakan di Benedictus Auditorium, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, pada tanggal 1 dan 2 Februari 2013, pukul 18.30 WIB hingga selesai. Namun sebelumnya, pada 31 Januari 2013, SMAK St Hendrikus mengundang anak-anak beserta pengurusnya dari beberapa panti asuhan untuk menyaksikan Solidarity Concert. Solidarity concert adalah konser amal yang dikemas dalam bentuk drama musikal. Drama musikal sendiri merupakan gabungan dari seni musik, seni tari, seni peran, dan seni suara
Romo Stefanus Hendrianto SJ, Pastor Penggagas Kepahlawanan di Mahkamah Konstitusi
Lama tak muncul dalam hiruk pikuk politik dan hukum di Indonesia, Stefanus Hendrianto kembali dengan buku karyanya berjudul ‘Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search of Judicial Heroes’. Romo Hendri—begitu ia disapa kini-sebelumnya adalah sosok yang akrab di kalangan aktivis reformasi Indonesia.
Menamatkan studi sarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 1997, Romo Hendri adalah salah satu aktifis mahasiswa yang ikut mendorong reformasi kala itu. Hingga akhirnya Orde Baru runtuh, ia masih sempat terlibat mengawal masa transisi hasil reformasi. “Saya baru berhenti itu sekitar tahun 2001,” katanya kepada Hukumonline.
Lepas dari aktivitas di politik, ia pernah mencicipi karier corporate lawyer di firma hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) selama setahun. Selanjutnya ia berangkat ke Belanda untuk studi comparative public law di Utrecht University pada tahun 2002 hingga 2003. Sempat kembali ke Indonesia, Romo Hendri juga pernah bekerja sebagai asisten bagi perwakilan International Monetary Fund (IMF) di kantor Jakarta.
Setelah menyelesaikan disertasi berjudul “From Humble Beginnings to a Functioning Court: the Indonesian Constitutional Court, 2003 -2008” pada tahun 2009, Romo Hendri memulai perjalanannya di Serikat Yesus provinsi Amerika Serikat. Secara khusus ia mengambil studi filsafat di Loyola University pada tahun 2011-2013 dilanjutkan studi Master of Divinity dan Master of Theology sekaligus di Boston College School of Theology and Ministry tahun 2016.
Selama 10 tahun perjalanannya menjadi calon pastor hingga resmi ditahbiskan pada Juni 2019 lalu, Romo Hendri terbukti tetap berkomitmen pada karya-karya intelektual. Ia menjadi pengajar dan peneliti di sejumlah kampus antara lain University of Detroit Mercy Law School, Loyola University Chicago Law School, Santa Clara University, dan University of Notre Dame. Itu pun belum termasuk sederet publikasi ilmiah kelas dunia serta aktivitas dirinya di berbagai asosiasi. (Ring-o)