(part 1)
Mount Elizabeth Hospital adalah rumah sakit di Singapura yang memiliki 8 pusat keunggulan, yang didukung dengan lebih dari 450 dokter spesialis senior dan 345 bed rawat inap.
Jakarta,Maret, Liputan Nusantara (LN).Ketum Kill Covid Adharta Ongkosaputra menghadiri sebuah Simposim para dokter yang digelar di sebuah hotel di Jakarta. “Materi yang didiskusikan adalah bagaimana memajukan ilmu kedokteran dan perawatan Rumah Sakit Indonesia agar tidak kalah dengan luar negeri,” kata Adharta. Seingatnya salah seorang pembicaranya adalah Prof Dr Suyudi. “Kelak beliau menjadi Rektor Universitas Indonesia dan juga menjadi Menteri kesehatan Repuplik Indonesia,” kenangnya. Sebagai anggota Medsos Kill Covid, saya mempunyai kewajiban moril untuk mensosialisasikan pandangan -pandangan yang mngedukasi warga masyarakat tentang betapa pentingnya Kesehatan itu,
Adharta mengatakan , salah satu topik yang dibahas waktu itu adalah perbaikan pelayanan sistem kedokteran di Indonesia agar tidak kalah dengan kedokteran di luar negeri. “Pada saat yang bersamaan Singapura berlomba lomba membangun rumah sakit mewah dan bergengsi. Sementara (kita terlena dan tidur nyenyak),” ujarnya.Ketika itu, lanjutnya, kalau berobat ke Singapura sangat murah sekali.
Sudah lama pengalaman membantu pasien dan tamu waktu mereka berobat ke Malaysia, kami dapat mengaturkan kedatangan tamu dan tempat tinggal di Malaysia dengan lebih aman dan nyaman.
Mengapa? karena mata uang kita sangat kuat. Nilai tukar Dolar Singapura setara tiga ratus Rupiah saja. Adharta mengatakan bahwa momentum terbaik agar kedokteran Indonesia bisa maju maka kita harus menciptakan dokter yang andal dan disertai fasilitas yang baik dari Rumah Sakit. Pada saat itu banyak orang dari luar negeri datang dan sekolah dokter di Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga.“Sejak saat itu saya senang dan sering membaca dan berdiskusi tentang kedokteran dan Rumah Sakit di Indonesia,” kata dia.Namun, lanjutnya, saya terpaksa harus tinggal di Singapura dan berobat di sana karena situasi yang tidak memungkinkan berobat di Indonesia.Dalam kesempatan ini Adharta memanfaatkan untuk sharing juga dengan dokter-dokter di Singapura dan Malaysia yang nota bene hampir semua adalah orang Indonesia. “Di Singapura itu kalau tidak salah,kenangnya ada Badan SMC atau Singapore Medical Coucil yang posisinya di bawah MOH. Badan ini menjadi partner para dokter dan Rumah Sakit. Kalau ada komplain pasien maka bisa disampaikan ke mereka dan akan ditindaklanjuti,” tuturnya. Ada kejadian yang saya alami sendiri kata Adharta, yakni mengalami alergi berat sekali. Kalau sedang sakit seluruh badan keluar bisul besar-besar bernanah dan sakit sekali. Dan, lanjutnya saya pun berobat ke sana. Saat itu ada seorang pasien mirip dengan sakit saya. Pasien itu melakukan
protes keras ke dokter karena sakitnya tidak sembuh-sembuh. Dan dokter tersebut menganjurkan agar pasien boleh protes dengan mengajukan surat protes dan dibantu pembuatannya oleh suster perawatnya. jangan-jangan saya akan mengalami hal yang sama pikir Adharta. Jadi ketika tiba giliran saya diperiksa, dokter bilang ke saya, bapak ini penyakit orang stres lalu si dokter merekomendasikan saya ke psikiater Adharta merasa kesal dan agak marah dalam hati divonis sakit gila’
PENTINGKAH BEROBAT KELUAR NEGERI ? (part 2)
Adharta Ongkosaputra meneruskan pemaparannya. “Dalam perjalanan pulang sehabis kontrol jantung saya di RS Mt Elisabeth Novena Singapura, saya menyempatkan berdiskusi dengan beberapa teman dokter di Jakarta,” ucapnya. Ketika itu, lanjutnya, Adharta membawa anak menantu dan cucu-cucu. “Jalan-jalan sekaligus kontrol ramai-ramai. Pada kesempatan ini Adharta ingin memberikan beberapa catatan, yakni mengapa pasien lebih suka berobat ke luar negeri khususnya Malaysia (Penang) dan Singapura? Pertama: Tentu banyak alasan. Walau pengobatan di luar negeri belum tentu lebih murah. “Kalau lebih mahal itu pasti ,” katanya. Kedua : adalah alasan peralatan Rumah Sakit, Kebersihan dan tata Kelola. Ketiga : soal kecepatan dan waktu. Semua dianalisa. Misalnya orang operasi dengkul cukup satu hari. “Saya dioperasi lehernya selama 8 jam.Tetapi di rumah sakit cuma dua malam. Disuruh pulang sambil ada 2 botol dengan selang masih di leher. Kata dokter anggap saja shoping bawa tas kemana-mana,” tuturnya. Adharta terkejut seakan tidak percaya. Dan setelah 4 hari kembali kontrol buka jahitan dan lepas botol isi darah. “Apa yang terjadi. Nanti bisa dilihat. Bekas operasi sempurna tidak ada tanda atau bekas operasi. Begitu halus dan rapi (kalau mau lihat saya boleh, biar ada perbandingan),” terangnya. “Apa yang terjadi. Nanti bisa dilihat. Bekas operasi sempurna tidak ada tanda atau bekas operasi. Begitu halus dan rapi (kalau mau lihat saya boleh, biar ada perbandingan),” terangnya. Keempat : kemampuan analisa dokter. Yang perlu kita kasih jempol itu adalah seorang dokter berani mengatakan tidak mampu lalu konsul dengan dokter lain. “Analisa sebuah kasus begitu cepat tanpa ragu-ragu sehingga menimbulkan kesan pasti membuat pasien betul-betul merasa yakin,” paparnya.
PENTINGKAH BEROBAT KELUAR NEGERI ?(part 3)
Presiden Joko Widodo pernah menyebut bahwa Ada kehilangan devisa karena begitu banyak warga negara Indonesia berobat ke luar negeri. Ya, bisa dibayangkan satu juta orang berobat Ke Malaysia. Sementara tujuh ratus ribu orang ke Singapura. Dan, dua ratus ribu lebih orang berobat ke Eropa, Amerika Serikat dan Australia sehingga menyebabkan negeri ini kehilangan ratusan triliun rupiah devisa negara. “Kita juga kekurangan dokter dan dokter spesialis. Saya
tidak tahu persis perbandingan jumlah dokter dan jumlah penduduk. Sepertinya dalam catatan saya memang kita kekurangan dokter,” urai Adharta Ongkosaputra,
Ada tiga alasan mengapa banyak orang Indonesia yang senang berobat ke luar negeri berdasarkan pendapat dari orang Indonesia langsung yang pernah berobat ke sana.1) Diagnosa yang tepat. 2) Kemampuan dokter yang hebat. 3) Lebih menghargai waktu
Ketua Umum Kill Covid-19.Tapi, lanjutnya, justru banyak sekali para pihak yang menghambat proses penciptaan dokter dan dokter spesialis. Sebagai contoh, sebut Adharta, sebuah universitas di Yogyakarta mengajukan izin pendirian Fakultas Kedokteran namun sampai hari ini tidak bisa. Mungkin sudah bertahun-tahun sampai semua pihak merasa putus asa. Bahkan, katanya, jumlah Rumah Sakit juga terasa masih kurang. Terutama rumah sakit yang berkelas atau baik fasilitasnya seperti di luar negeri (like no other). “Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada saat meresmikan Rumah Sakit Mayapada di Bandung belum lama ini,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Presiden Jokowi, maka Adharta juga ingin memberikan masukan kepada semua pimpinan Rumah Sakit agar segera mengambil sikap
untuk membangun citra masing masing. Ya, untuk merebut kembali pangsa pasar pasien agar tidak berobat ke luar negeri. Berikut konsep yang harus diterapkan sambung Adharta, antara lain: Perawatan Rumah Sakit dengan dasar
Pastoral Care. “Sistem perawatan dengam dasar Pastoral Care bisa membangun citra Rumah sakit”. Ada beberapa rumah sakit yang menerapkannya, misalnya dengan moto “merawat pasien disaat sudah sembuh dan di rumah’. Intinya bahwa Rumah Sakit adalah mitra pasien, teman dan sekaligus sahabat pasien,” ungkapnya. Sampai ibarat Rumah Sakit adalah menjadi ‘my Second Home’ atau rumah kedua pasien. “Menjadi sahabat dikala sakit. Bukan sebaliknya. Pasien malah merasa seperti momok yang menakutkan”. Adapun kunci kesuksesan sebuah Rumah Sakit bukan pada sebaik apa dokter merawat tetapi sebaik apa perawat yang merawat pasien. Biaya Rumah Sakit pun mendapat perhatian dari Adharta. Biaya tersebut (diluar yang memiliki asuransi kesehatan). Rumah sakit jangan meninggalkan kesan mahal. Kalau tidak percaya silakan tes atau uji materi. Sementara harga obat Di Rumah sakit jauh lebih mahal dari apotek di luar?,”kata
Adharta pemilik Klinik Suasana Sehat ini. Harga kamar harusnya dianalisa. Dalam proporsional yang dibebankan kepada pasien dengan optimisime occupancy rate 75 persen.ungkapnya.Hal ini merupakan pencerahan bagi warga untuk bisa mengkritisi Rumah Sakit yang mengada – ada biaya, Seperti yang dikatakan Adharta,jangan sampai disuruh beli obat jika tidak diperlukan.atau harus beli obat di RS,padahal di Apotik lebih murah,semoga menjadi perhatian para pembaca setia media ini.( Ring-o)