(bagian 2- habis)
Warga menolak penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere, Sikka, NTT.
(Foto: dok. Istimewa)
Jakarta, Januari, Liputan Nusantara (LN).Kalimat terakhir pada artikel bagian pertama ……, Peristiwa ini telah memicu kecaman luas terhadap Keuskupan Maumere, berikut para imam Katolik yang juga hadir di lapangan selama penggusuran. Selanjutnya…..
Sembilan puluh dua (92) organisasi advokasi dan pemerhati masyarakat adat yang bergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria dalam sebuah pernyataan pada 23 Januari menyebut perusahaan melakukan tindakan “brutal.”
Sulitnya akses dan kemiskinan, dua wajah warga Desa Wairbukang yang hidup di dalam kawasan hutan lindung Egon Ilimedo. Untuk menuju kampung ini harus melalui jalan setapak berbatu berkemiringan sekitar 45 derajat sejauh sekitar tiga kilometer. Hutan Kemasyarakatan diharapkan jadi solusinya.( Foto: Ebed de Rosary)
“Langkah ini sungguh sangat ironis, sebab perusahan itu dimiliki oleh Keuskupan Maumere yang seharusnya melindungi masyarakat serta umat Katolik yang menjadi korban penggusuran tersebut dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan,” kata mereka.
Bukan Kelapa, Tapi Tanah; Aspirasi Warga Adat Sikka .
Mereka juga mengkritisi pemerintah yang seolah-olah “tutup mata atas tindakan kejahatan agraria yang dilakukan oleh pihak perusahaan.”
“Padahal, tidak sekali dua kali pihak perusahaan melakukan aksi sepihak menggusur masyarakat, termasuk tindakan-tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat,” kata mereka.
Maximilianus Herson Loi, Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) Wilayah Nusa Bunga menyoroti secara khusus keterlibatan para imam Katolik dalam peristiwa ini.
Perkebunan kelapa milik perusahan gereja di Nangahale. (Martin Elvanyus De Porres)
Alat berat sedang merobohkan salah satu rumah warga pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Ricky Fernandez)
“Seharusnya klerus ( sebutan kaum tertahbis yang bertugas melayani hal-hal rohani-berasal dari bahasa Yunani), tampil sebagai pelindung umatnya dari ancaman penggusuran dan kriminalisasi,” kata Herson Loi.
Ia juga mengecam aparat keamanan yang justru menjadi pengayom dan pelindung perusahaan.
“Apa karena masyarakat adat tidak punya uang sehingga tidak pantas untuk dilindungi?” Tanya Herson pula.
Peristiwa pada 22 Januari hanyalah salah satu dari rentetan konflik sebelumnya antara warga dua suku yang mendiami Kecamatan Talibura itu dengan Keuskupan Maumere terkait lahan seluas 868.730 hektare.
Ricky Fernandes berkata, ini adalah konflik terbuka yang ketiga setelah sebelumnya perusahaan melakukan penggusuran dan penebangan tanaman warga pada 2021 dan tahun lalu.
Penggusuran pada Juli 2024, kata dia, diprotes warga dengan mencabut papan nama perusahaan itu.
Aksi warga direspons PT Krisrama dengan melaporkan delapan warga yang dituduh melakukan pengrusakan. Mereka tengah dalam proses persidangan.
Antonius Toni berada di Pengadilan Negeri Sikka saat penggusuran pada 22 Januari untuk mendampingi delapan warga itu.
Floresa.co menghubungi Uskup Maumere, Mgr. Edwaldus Martinus Sedu yang sekaligus Komisaris Utama PT Krisrama pada 23 Januari, menanyakan alasan penggusuran itu.
Ia meminta Floresa menghubungi Romo Epy Rimo, Direktur Utama PT Krisrama, tapi romo Epy Rimo beralasan sedang mengikuti acara pentahbisan Uskup Surabaya di Jawa Timur.
Epy, yang berbicara kepada Floresa.co pada 23 Januari berkata, lahan konflik itu awalnya dimiliki Perusahaan Kolonial Belanda Amsterdam Soenda Compagni, dengan luas 1.438 hektare.
Kronologisnya: Pada 1926, lahan itu dibeli oleh Apostholik Vikariat Van De Klanis Soenda Elianden, istilah dalam bahasa Belanda untuk Vikariat Apostolik Ende, lembaga dalam Gereja Katolik untuk wilayah otoritas satu tahap sebelum pembentukan keuskupan.
“Pada 16 Desember 1956 Vikariat Apostolik Ende melepaskan sebagian tanah dengan luas 783 hektare kepada Pemerintah Swapradja Sikka untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana termuat dalam Surat VAE No. 981/V/56,” katanya.
Pada 1972, PT Diag, perusahaan milik Keuskupan Agung Ende mengajukan hak kepemilikan atas lahan itu.
Selanjutnya Pada 5 Januari 1989 PT Diag mendapat Hak Guna Usaha [HGU] dari Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk periode 25 tahun yang berakhir pada 31 Desember 2013.
“Pada diktum ketiga huruf F dinyatakan bahwa HGU dimaksud dapat diperpanjang dengan jangka waktu 25 tahun,” jelasnya.
Dalam perjalanan waktu, kata Epy, warga mulai menduduki lahan itu, yang bermula pasca bencana tsunami di Sikka pada 1992. Pengungsi dari Pulau Babi dan sekitarnya diberikan lahan seluas 29 hektare untuk pemukiman. “Dasarnya adalah demi kemanusiaan semata,” katanya.
Lebih lanjut Pada 2005, lahan tersebut dialihkan ke Keuskupan Maumere, bersamaan dengan pembentukannya sebagai keuskupan baru di Flores. Keuskupan itu kemudian membentuk PT Krisrama.
Epy berkata, pasca berakhirnya HGU pada 2013, warga terus menduduki lahan tersebut saat PT Krisrama mengajukan permohonan perpanjangan HGU.
PT Krisrama kemudian mengantongi SK perpanjangan HGU dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi NTT pada 28 Agustus 2023.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 543 hektare dikembalikan kepada negara dan “hanya 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama,” kata Epy.
Sejak mendapat HGU, “kegiatan yang perlu kami lakukan adalah pembersihan lokasi sesuai dengan bagian dari tuntutan kami mendapatkan hak” dan hal itu “sudah direncanakan sejak lama.”
Namun, jelasnya, rencana itu selalu ditunda karena Polres Sikka memberi berbagai alasan, mulai dari Pemilu 2024, Pilkada Serentak pada November, Natal dan Tahun Baru dan alasan pergantian Kapolres.
Ia mempersoalkan berbagai alasan itu, termasuk pergantian Kapolres Sikka yang disebutnya sebagai “alasan internal” yang mengorbankan perusahaan.
Padahal, kata dia, mereka hanya punya waktu dua tahun untuk mulai mengolah lahan itu.
“Kami sudah memberi waktu toleransi satu setengah tahun,” katanya.
Ia menyebut, sebelum peristiwa 22 Januari, pihaknya “sudah melalui prosedur yang berlaku, dimulai dari pengumuman di gereja, pengumuman oleh pemerintah daerah, pendekatan dari orang perorang, dan somasi hukum.”
Ia juga mengaku telah mengimbau warga dan menggelar sosialisasi untuk membongkar rumah secara mandiri.
Epy mengklaim tindakan perusahaan tersebut bukan penggusuran, melainkan ‘pembersihan’ terhadap “okupan yang masih berada di dalam lokasi.”
“Kami sama sekali tidak ada persoalan dengan siapa pun, hanya bahwa ada satu dua rumah yang masih ada di dalam lokasi HGU, yang sebelumnya berdasarkan janji pemerintah, mereka direlokasi oleh pemerintah,” katanya.
Ia berkata durasi waktu yang sangat minim membuat perusahaan itu mengambil keputusan untuk tidak menunggu pemerintah, “tapi kami mau bersama pemerintah sebagai mitra” untuk bersama-sama merelokasi warga.
Pembersihan lokasi itu “untuk peremajaan pohon kelapa yang usianya sudah tua.”
“Kami diberi hak untuk mengembangkan bisnis perkebunan kelapa di sini,” lanjutnya.
Terkait protes berbagai pihak, termasuk warga, klaimnya, “kegiatan kami 99 persen berjalan dengan baik, dan tanpa ada benturan berarti.”
“Memang ada provokasi dari luar, tapi kami sadar untuk membersihkan lokasi dan tidak menanggapi itu semua,” katanya.
Terkait langkah lanjutan pasca penggusuran, pihaknya akan melakukan “koordinasi ke dalam”, termasuk dengan “Kapolres dan pejabat-pejabat terkait untuk menghindari benturan-benturan yang tidak perlu.”
“Apalagi ini umat kita. Mereka mungkin belum sadar,” katanya.
Penggusuran Dinilai Tanpa Dasar Hukum
John Bala, Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang berbasis di Sikka dan selama ini mendampingi warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai mempersoalkan klaim Epy.
Ia menuding PT Krisrama melakukan pembohongan saat mengurus HGU, dengan mengklaim telah melepaskan sebagian tanah HGU kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka dan kepada warga.
Dengan dasar klaim itu, katanya, HGU diterbitkan, sebab “dianggap tidak ada masalah lagi di lapangan.”
Faktanya, kata dia, wilayah HGU PT Krisrama seluas 325 hektare mencakup lahan yang sudah ditempati warga sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
“Misalnya, rumah-rumah yang digusur di Pedan itu adalah tanah yang sudah ditempati oleh warga, tetapi PT Krisrama bersama Badan Pertanahan justeru menetapkan itu sebagai bagian dari HGU,”
Sementara lahan seluas 543 hektare, yang dalam bahasa Epy disebut dikembalikan ke negara, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini.”
Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.
Karena itu, ia mempersoalkan penggusuran sebagai tindakan yang dilakukan tanpa dasar hukum.
Apalagi, pelaku menggunakan parang, hal yang “dilarang berdasarkan Undang-undang Darurat, tetapi dibiarkan saja oleh aparat keamanan.”
Ia juga mengkritisi istilah pembersihan yang dipakai Epy.
Pembersihan lahan adalah “tindakan membersihkan tanaman untuk penanaman baru atau monokultur, biasanya dalam konversi hutan menjadi perkebunan,” kata John.
Istilah itu, jelasnya, tidak dapat dipakai untuk tindakan penggusuran rumah warga atau fasilitas lainnya sebagai konsekuensi dari produk hukum.
Penggusuran yang dilakukan PT Krisrama “adalah tindakan kekerasan, yang dihaluskan dengan pembersihan.”
Dalam kasus ini, kata John, karena ada penguasaan dan keberatan dari pihak lain, yaitu warga, maka menurut peraturan perundang-undangan, pemegang SK HGU hanya bisa melakukan dua hal, yakni “mediasi di luar pengadilan atau gugatan perdata terkait perbuatan melawan hukum.”
PT Krisrama, kata dia, “perlu memastikan di pengadilan apakah penguasaan lahan oleh warga itu punya alas hak atau tidak.”
Berdasarkan diktum keenam dalam SK HGU, kata John, PT Krisrama juga seharusnya memposisikan warga sebagai “keadaan di mana terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan dan atau kepemilikan pihak lain yang terjadi setelah HGU keluar.”
“Maka, perusahaan itu wajib menyelesaikan masalah itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak ada satu poin pun yang menyebut penggusuran.”
Diktum keenam dalam SK HGU tersebut yang dimaksud John berbunyi: “Apabila di atas bidang tanah yang diberikan HGU terdapat keberatan, permasalahan, penguasaan dan/atau kepemilikan pihak lain yang timbul di kemudian hari, maka penerima hak wajib menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ia menjelaskan, penyelesaian masalah sesuai ketentuan undang-undang merujuk pada mediasi di luar pengadilan atau gugatan hukum terhadap warga yang masih menduduki lahan.
“Selama ini tidak pernah ada proses peradilan itu setelah keluar SK HGU. Tiba-tiba perusahaan melakukan penggusuran,” katanya.
“Apakah pembersihan atau penggusuran itu adalah cara penyelesaian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud?
Terkait klaim Epy yang mengatakan telah melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada warga, John berkata setelah mendapat HGU pada 2023, Keuskupan Maumere memang menempuh beberapa cara, mulai dari pengumuman di gereja hingga somasi terhadap warga.
“Lalu mereka berpendapat ketika semua itu dilakukan dan masyarakat tidak keluar [dari lahan], artinya mereka boleh gusur? Itu pikiran sesat,” katanya.
John mengatakan hingga kini pihaknya terus mengupayakan dialog dengan Keuskupan Maumere, “karena kami menghormati institusi gereja.”
Namun, “selama proses ini, Keuskupan Maumere selalu menghindar dan memandatkan persoalan kepada pemerintah daerah. Mereka tidak mau bertemu warga secara langsung.”
Padahal, kata dia, sudah terdapat dua Peraturan Bupati Sikka terkait penyelesaian konflik ini.
Pertama Perbup Nomor 144/Hukum/2016 tentang Identifikasi dan Verifikasi Masyarakat Tana Ai yang Berada di Tanah Bekas HGU Nangahale..
Panitia yang ditunjuk untuk penyelesaian kasus itu, lanjut John, antara lain pemerintah daerah, DPRD, dan lima orang perwakilan masyarakat “untuk menjadi tim identifikasi dan verifikasi.”
Peraturan lainnya adalah SK Bupati Nomor 134/Hk/2020 tentang Tim Terpadu Penyelesaian Permasalahan HGU Nangahale.
“SK itu dijalankan hanya sampai tahap pengambilan peta eksisting dan presentasi peta pun gagal. Padahal, harus ada tahap perundingan, penetapan hasil perundingan dengan SK Bupati dan mengantarkan hasil perundingan ke Badan Pertanahan untuk ditetapkan.”
Kegagalan tersebut terjadi karena “tidak ada keseriusan untuk melibatkan masyarakat dalam proses ini.”
Sementara itu, di tengah proses tersebut, kata dia, pada 27 April 2021, tiba-tiba Bupati Sikka, Roby Idong dan Uskup Maumere pergi ke Jakarta untuk mengajukan HGU baru.
“Itu mengabaikan seluruh proses yang sudah mereka presentasikan pada 30 September dan 1 Oktober 2020,” katanya.
Konflik lahan HGU Nangahale seharusnya sudah selesai, kata John, jika proses-proses itu dihargai dan dilanjutkan, “tapi prosesnya tidak berjalan.”
“Warga pasti tetap bertahan. Penggusuran ini tidak berdasarkan hukum tetapi kekuasaan dan jaringan yang lebih kuat,” ungkapnya.
Dari tempat tinggal sementara di Sikka, Antonius Toni berkata, apa yang mereka alami merupakan “tindakan yang tidak manusiawi” dan “perlu diperhatikan oleh semua pihak.”
Sebagai penganut Katolik, ia kecewa karena Keuskupan Maumere telah menggunakan “ Kristus Raja” sebagai nama perusahaan yang menggusur umatnya sendiri.
“Ini tidak sesuai dengan visi dan misi gereja,” katanya.
Ia pun berharap Uskup Maumere, Msgr. Edwaldus Martinus Sedu dan para imamnya, “bertindak jujur.”tutup Antonius Toni.( Ring-o)