Pandangan Gereja tentang Kecerdasan Buatan
Maret, Liputan Nusantara, (LN).Menurut H.A.Simon menyebutkan AI merupakan semua tempat penelitian, instruksi, dan aplikasi yang berkaitan dengan pemrograman komputer. Tujuannya untuk melakukan suatu hal yang dianggap cerdas oleh manusia. Menurut Kristianto mendefinisikan sebagai salah satu bagian dari ilmu pengetahuan komputer yang dibuat secara khusus untuk perancangan otomatisasi tingkah laku cerdas dalam suatu sistem kecerdasan di perangkat komputer.sementara pendapat Rich & Knight Mereka berpendapat kecerdasan buatan merupakan sebuah studi tentang cara komputer dapat melakukan hal-hal yang dapat dilakukan lebih baik oleh manusia. (dikutip dari tiro.id).
ANTIQUA ET NOVA DIKASTERI UNTUK KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN
Dalam WAG romo Martin Harun mengatakan dalam suatu zoominar oleh Catholic Climate Covenant minggu lalu mengenai pandangan Gereja Katolik tentang AI (a.l. berdasarkan dokumen Antiqua et Nova) berakhir dengan anjuran untuk mendorong detoksifikasi AI sebagai pantangan Masa Prapaskah Antara lain dengan cara ini:
- Menonaktifkan aplikasi-aplikasi yang didukung AI di ponsel Anda.
- Menulis sendiri.
- Menghindari gamba-gambar konyol yang bisa dihasilkan oleh AI (jutaan setiap hari).
- Time-out dalam main game yang didukung AI.
- Tidak menggunakan aplikasi AI untuk searching di internet. Searching biasa bisa sampai 10x
lebih ringan ongkos ekologis dan sosialnya.
Kecerdasan buatan, bantu umat Katolik Filipina memupuk iman
Kata-kata “Kecerdasan buatan AI” digambarkan dengan miniatur lengan robot dan tangan mainan dalam ilustrasi tanggal 14 Desember 2023 ini. (Foto OSV News/Dado Ruvic, Reuters)
Mengapa perlu melakukannya? Tanya romo Martin.
Ilustrasi: AI dan Vatikan
Selain banyak manfaat yang diakui dan disyukuri oleh Gereja dalam Antiqua et Nova, tidak boleh kita lupakan bahwa AI tidak datang tanpa ongkosnya : membawa kerugian dan ketidakadilan ekologis dan sosial yang tak bisa diremehkan.
Karena itu, kita diajak memakai AI dengan bijaksana dan sejauh perlu saja; dan tidak membiarkan diri diracuni olehnya, sambil membawa kerugian pada bumi dan masyarakat lemah.
Pantangan masa Prapaskah mengikuti perkembangan zaman: kali ini mendorong detoksifikasi AI, Artificial Intelligence, Akal Imitasi (bagus betul kepanjangan AI dalam bahasa Indonesia ini).
Dilansir dari Hidup Katolik.com, Romo Benny, Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sedang tren saat ini. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta pernah menggunakan AI sebagai presenter. Bagaimana pandangan Gereja Katolik soal AI yang mampu meniru fungsi kognitif manusia?.
Data Center ,sebuah fasilitas yang digunakan utk memusatkan dan menyimpan sistim operasi TI dan peralatan yang dimiliki sebuah Perusahaan.
Manusia merupakan citra Allah (Bdk. Kej. 1:27). Dia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk lain di dunia sehingga diminta untuk merawat dan mengelola dunia (Bdk. Kej. 1:28-30). Sebagai ciptaan, manusia memiliki kecerdasan yang dapat berkreasi bagi kemajuan peradaban umat manusia. Dan sejak dahulu, manusia mengembangkan teknologi untuk membantu karyanya yang dipercayakan oleh Allah kepada mereka.
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, jikalau ada TV swasta menggunakan AI sebagai presenter bukan berarti kemudian TV swasta itu bisa menggantikan seorang presenter manusia dengan AI. Mungkin AI dapat melakukan lebih dari presenter tetapi AI tidak pernah bisa menggantikan manusia. Sebagai manusia karena AI bagaimanapun adalah “benda,” bukan manusia yang bisa berkreasi.
Oleh sebab itu, Gereja tidak bersikap menolak begitu saja terhadap kehadiran AI bagi peradaban manusia. Apalagi Gereja tahu persis bahwa AI adalah sebuah produk, sebuah karya manusia sehingga AI memiliki nilai dan manfaat bagi hidup manusia jikalau itu digunakan dengan baik. Dengan kata lain, Gereja menempatkan diri untuk memberikan dukungan kepada perkembangan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Gereja bersyukur bahwa manusia memiliki kemampuan yang istimewa sehingga masyarakat manusia semakin hari semakin berkembang dari masa ke masa.
Namun, Gereja menyadari bahwa segala yang ditemukan dan dibuat oleh manusia terkadang tidak dimanfaatkan dengan benar atau menempatkan perkembangan teknologi secara tidak tepat, misalnya penemuan senjata api yang tidak dimanfaatkan dengan benar ketika peredarannya tidak diatur sebagaimana mestinya sehingga berulang kali ada pemanfaatan yang tidak tepat terhadap teknologi tersebut yang menyebabkan korban jiwa di kalangan anak sekolah.
Apa pendapat Gereja Katolik tentang AI?
Paus juga memperingatkan agar alat tersebut tidak bekerja secara otonom, dengan menekankan bahwa AI “adalah, dan harus tetap menjadi alat” di tangan manusia. Selain itu, Bapa Suci memperingatkan agar kecerdasan buatan tidak melakukan ‘budaya membuang-buang’, mendukung ketidaksetaraan, dan membuat keputusan di luar lingkupnya.(22 Jun 2024)
Paus tentang AI : Sambut manfaatnya bagi kemanusiaan, namun kurangi risikonya-Vatican Media
Paus Fransiskus menegaskan kembali bahwa kecerdasan buatan hanya boleh digunakan untuk memberi manfaat bagi umat manusia, saat ia berterima kasih kepada para peserta konvensi internasional tentang ‘Kecerdasan Buatan Generatif dan Paradigma Teknokratis,’ yang diselenggarakan oleh Yayasan Vatikan Centesimus Annus Pro Pontifice
Seminggu setelah Paus Fransiskus menyampaikan pidato pada Sidang G7 di Bari, Italia, tentang kecerdasan buatan, Bapa Suci menegaskan kembali bahwa kemajuan teknologi yang dahsyat harus digunakan secara etis, untuk melayani kemanusiaan, dan bahwa risiko yang melekat padanya harus dikurangi.
Pernyataan terbaru Bapa Suci tentang AI disampaikan saat audiensinya pada Sabtu pagi di Vatikan dengan para peserta konvensi internasional tentang ‘Kecerdasan Buatan Generatif dan Paradigma Teknokratis,’ yang diselenggarakan oleh Centesimus Annus Pro Pontifice
Lebih jauh, Bapa Suci memperingatkan terhadap kecerdasan buatan yang memicu ‘budaya membuang,’ mendukung ketidaksetaraan, dan membuat keputusan di luar lingkupnya.
tinggi dari beberapa raksasa teknologi meskipun membahayakan manusia?”
Lebih jauh, Bapa Suci memperingatkan terhadap kecerdasan buatan yang memicu ‘budaya membuang,’ mendukung ketidaksetaraan, dan membuat keputusan di luar lingkupnya.
tinggi dari beberapa raksasa teknologi meskipun membahayakan manusia?”
Ketika Paus mendorong Centesimus Annus untuk “dengan berani melanjutkan” komitmennya dalam hal ini, ia secara khusus memuji peluncuran proyek penelitian gabungan kedua antara Yayasan dan Aliansi Strategis Universitas Riset Katolik (SACRU), dan menegaskan: “Mohon terus informasikan saya tentang hal ini!” ujar Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus mengakhiri pidatonya dengan menyampaikan apa yang ia gambarkan sebagai “sebuah provokasi.”
“Apakah kita yakin ingin terus menyebut ‘intelijen’ sebagai sesuatu yang bukan intelijen?” katanya. Sambil menegaskan bahwa kita harus memikirkan hal ini, ia mendesak mereka untuk bertanya pada diri sendiri “apakah penyalahgunaan kata ini, yang sangat penting dan sangat manusiawi, bukan merupakan penyerahan diri kepada kekuasaan teknokratik.”
Paus Fransiskus bersama peserta konvensi internasional tentang AI yang diselenggarakan oleh Yayasan Vatikan Centesimus Annus Pro Pontifice
Menurut sejarah, penelitian dalam bidang AI dimulai pada tahun 1940-an. Hal ini diinspirasi oleh novel yang berjudul Runaround, karya dari Isaac Asimov. Novel ini mengisahkan tentang robot yang dikembangkan oleh insinyur Gregory Powell dan Mike Donavan. Robot ini dibuat dengan mematuhi Tiga Hukum Robotika. Pertama, robot itu tidak boleh melukai dan dapat mencegah manusia untuk tidak menyakitinya. Kedua, robot harus mematuhi perintah yang diberikan oleh manusia kecuali jika perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama. Ketiga, robot harus melindungi keberadaannya sendiri selama perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertama atau Kedua. Karya Asimov ini menginspirasi generasi ilmuwan di bidang robotika, AI, dan ilmu komputer—antara lain ilmuwan kognitif Amerika Marvin Minsky (yang kemudian ikut mendirikan laboratorium MIT AI) (Haenlein & Kaplan, 2019, p. 2). Istilah AI sendiri diperkenalkan pertama kali dalam sebuah sekolah musim panas yang diadakan oleh departemen matematikn di Universitas Dartmouth pada tahun 1956. Term itu diberikan pertama kali oleh John McCarthy. Ia dipahaminya sebagai ilmu dan Teknik membuat mesin yang cerdas (Lennox, 2020, p. 14).
Penelitian dalam bidang AI memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memahami pikiran dan prsoses pikiran manusia dengan membuat modelnya menggunakan teknologi computer. Kedua, menyelidiki mengenai perilaku manusia dan membuat mesin yang bisa menirunya (Lennox, 2020, p. 14).
Yang (2017)membagi AI ke dalam dua kelompok, yaitu AI yang kuat dan AI yang lemah. AI yang kuat (atau kecerdasan umum buatan) adalah mesin yang mmiliki kesadaran, perasaan, dan pikiran. Mesin ini memiliki kecerdasan dalam aneka bidang. Sedangkan AI yang lemah (atau kecerdasan sempit buatan) berfokus pada spesifik tugas-tugas sempit (misalnya, mobil self-driving). Misalnya mesin pembelajaran yang hanya memiliki kecerdasan dalam bidang pembelajaran. Atau mesin yang hanya mempunyai kemampuan dalam bidang algoritma. Contoh lain adalah robot yang hanya bisa mengerjakan satu tugas saja (Ring-o)