Menu

Mode Gelap
Dua Pemuda Pengedar Obat Keras Dibekuk Polsek Pakuhaji di Kontrakan Langit Surabaya Masih Biru Lapas Jember Bentuk Karakter Warga Binaan Melalui Pembinaan Kepribadian Bidang Kerohanian Dirum PDAM TB Kunjungi Sekber PWI,SMSI dan JTR Dua Pelaku Narkoba Diamankan Polsek Pinang, Barang Bukti 13,84 Gram Sabu Disita Semarakkan HUT Kemerdekaan RI, Kalapas Banyuwangi Buka Pekan Olahraga Bagi Pegawai dan Warga Binaan

Jakarta

“Langit Masih Biru Sebuah  Kehidupan yang Ditinggalkan”

badge-check


					“Langit Masih Biru Sebuah  Kehidupan yang Ditinggalkan” Perbesar

Surabaya Kota Lama

( Oleh Adharta  Ongkosaputra Ketua Umum KRIS )

Jakarta, Agustus, Liputan Nusantara (LN),Adharta sebagai ketua Umum Kill Covid-19 Relief Internasional Service  (KRIS) mengisahkan  kehidupan seorang Elisabet yang ditinggalkan Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan mobil saat ia masih bayi. Sebuah tragedi yang ia ketahui hanya dari cerita neneknya.

Neneknya  itu,merupakan satu-satunya pelindung, ketika ayah ibunya  meninggal pada saat  Elisabeth baru kelas 4 SD. Sejak saat itu, hidup Elisabeth menjadi roda takdir yang digerakkan oleh orang-orang yang tak pernah ia pilih.

Kawasan Kembang Jepun

Ia diasuh oleh sepasang suami istri tetangga neneknya, yang menyayanginya setengah hati, cerita Adharta. Adharta melanjutkan ceritranya bukan kekerasan fisik yang membuat masa kecilnya sulit, tapi kekosongan emosional yang tak pernah bisa ia isi. Ia belajar untuk tidak berharap.

 

Nenek Tua Membantu Cucu Kecil Melakukan Pekerjaan Rumah Nenek

Seorang nenek dan cucu kecil mencari album foto keluarga.

Nenek membantu cucunya mengerjakan PR

Elisabeth bekerja sebagai staf pemasaran di sebuah perusahaan kosmetik lokal yang cukup terkenal di Surabaya.  Ia paham betul soal skincare dan perawatan wajah, Ia bahkan sering menjadi tempat konsultasi teman-temannya. Tapi di balik kompetensi itu, ia sering menjadi bahan ejekan di kantor.

Kisah Kota Surabaya  tempat ia lahir kental dengan nilai kepahlawanan. Sejak awal berdirinya, kota ini memiliki sejarah panjang yang terkait dengan nilai-nilai heroisme. Istilah Surabaya terdiri dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang.dikutip dari (https://surabaya.go.id/id)

Nilai kepahlawanan tersebut salah satunya mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu 31 Mei.

Heroisme masyarakat Surabaya paling tergambar dalam pertempuran 10 Nopember 1945. Arek-arek Suroboyo, sebutan untuk orang Surabaya, dengan berbekal bambu runcing berani melawan pasukan sekutu yang memiliki persenjataan canggih. Puluhan ribu warga meninggal membela tanah air. Peristiwa heroik ini kemudian diabadikan sebagai peringatan Hari Pahlawan. Sehingga membuat Surabaya dilabeli sebagai Kota Pahlawan.

Sejarah Surabaya juga berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Secara geografis Surabaya memang diciptakan sebagai kota dagang dan pelabuhan. Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit. Letaknya yang dipesisir utara Pulau Jawa membuatnya berkembang menjadi sebuah pelabuhan penting di zaman Majapahit pada abad ke – 14.

Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang sangat strategis membuat pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke – 19, memposisikannya sebagai pelabuhan utama yang berperan sebagai collecting centers dari rangkaian terakhir kegiatan pengumpulan hasil produksi perkebunan di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk diekspor ke Eropa.

Lebih lanjut kisah Elisabeth yang bekerja sebagai staf  pemasaran di perusahaan komestik itu, sering menjadi tempat konsultasi teman-temannya. Tapi di balik kompetensi itu, ia sering menjadi bahan ejekan di kantor seperti ……”Elisabeth, kamu lagi-lagi pakai sepatu itu?”

“Aduh, jangan dekat-dekatdeh….. Bau, makan siangnya bisa bikin serum kita luntur nih!”Tawa-tawa itu menusuk. Namun  Elisabeth tak pernah membalas. Hanya menunduk saja , lalu bekerja lebih giat lagi.

Terkadang saat pulang malam, ia menangis diam-diam di bawah pancuran air.

Merasa kosong. Seperti hidup hanya lewat begitu saja. Ia pernah sekali jatuh cinta, saatia berusia 27tahun dengan seorang fotografer freelance yang ia temui di proyek kerja. Tapi ketika pria itu tahu Elisabeth tak punya keluarga,sanak saudara, hubungan mereka langsung putus. “Maaf, aku butuh seseorang yang punya akar, Beth…”kata laki-laki fotografer itu. ? Elisabeth mengerti karena dia tidak mempunyai keluarga dan sanaksaudara. Ia seperti pohon yang tumbuh di tepi jurang. Bisa hidup, tapi tak punya pegangan kuat piker Elisabeth  (Ring-o) ……….  Bersambung !!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Langit Surabaya Masih Biru

6 Agustus 2025 - 23:48 WIB

 “Surabaya Langit Masih Biru”. Kehidupan yang penuh pertanyaan

6 Agustus 2025 - 06:32 WIB

Indutri Kemasan Makanan dan Miuman Kebal Resesi.”

5 Agustus 2025 - 08:48 WIB

“Pemanfaatan  Artificial Inteligens (AI) di Dunia Pendidikan”

4 Agustus 2025 - 08:29 WIB

“Anak  Muda Mengubah Dunia  Lewat  Sampah”.

1 Agustus 2025 - 01:41 WIB

Trending di Jakarta