Jakarta, Desember, Liputan Nusantara(LN).Dalam sebuah diskusi Esoterika yang ke 56,Selasa, 17 Desember 2024, bertema lebih sekadar saran-saran bijak “Paradoks Zen Haimin Sunim”.
Paradoks Zen adalah salah satu tema sentral dalam ajaran Zen yang berfungsi sebagai alat untuk menggugah kesadaran dan membantu seseorang melampaui pemahaman rasional dalam menjalani kehidupan.
Dilansir dari Orbitindonesia.com, Haemin Sunim adalah seorang penulis dan guru agama Buddha berkebangsaan Amerika Serikat berdarah Korea. Terlahir dengan nama asli Ryan Joo, Haemin pernah menempuh studi di beberapa kampus ternama di Universitas California, Berkeley, Universitas Harvard dan Universitas lainnya. Dalam karya dan refleksi Haemin Sunim, seorang guru Zen asal Korea, paradoks sering digunakan untuk menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu bisa didekati dengan logika. Haemin Sunim mengajarkan bahwa kehidupan sering kali penuh dengan dualitas yang tampak bertentangan, tetapi justru di sanalah tersembunyi hikmah yang mendalam.
Berbicara tentang paradok kebahagiaan, Haemin Sunim mengatakan bahwa kebahagiaan sejati muncul ketika kita belajar menerima hidup sebagaimana adanya, termasuk ketidaksempurnaan dan kesulitan. Dalam menerima momen-momen sulit dengan kesadaran penuh, kita menemukan kedamaian yang lebih dalam daripada kebahagiaan sementara yang bergantung pada kondisi luar. Paradoks ini mengingatkan kita bahwa menerima apa yang tampak tidak menyenangkan adalah jalan menuju kebahagiaan yang bertahan lama.
Paradoks lain yang diangkat oleh Haemin Sunim berkaitan dengan hubungan manusia. Ia mengajarkan bahwa untuk benar-benar dekat dengan orang lain, kita perlu melepaskan keterikatan emosional yang berlebihan. Kedengarannya kontradiktif, tetapi ia menjelaskan bahwa cinta yang murni tidak muncul dari rasa kepemilikan, melainkan dari kebebasan dan penghormatan. Dengan menerima orang lain apa adanya tanpa keinginan untuk mengubah mereka, kita menciptakan ruang di mana cinta sejati bisa tumbuh. Hal ini mencerminkan pemahaman Zen tentang cinta sebagai pengalaman yang luas, melampaui keinginan pribadi.
Melalui paradoks-paradoks ini, Haemin Sunim mengajak kita untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak menawarkan jawaban yang pasti, tetapi membuka ruang untuk refleksi dan transformasi.
Dengan menerima dan memahami paradoks, kita belajar untuk hidup dengan lebih bijaksana dan damai, tanpa harus terjebak dalam keinginan untuk selalu “memahami” segala sesuatu secara sempurna. Zen, dalam esensinya, mengajarkan bahwa hidup adalah tentang mengalami, bukan sekadar memaham.
Semua orang pasti ingin bahagia. Namun, pernahkah Anda mencari dan mempelajari kebahagiaan lewat Twitter? ujar Haemin. Biksu Haemin Sunim, seorang biksu ternama asal Korea Selatan dan penulis buku, menghabiskan waktunya untuk memimpin berbagai program terapi dan mengajarkan kebahagiaan lewat Twitter. Semua orang pasti ingin bahagia. Namun, pernahkah Anda mencari dan mempelajari kebahagiaan lewat Twitter? Biksu Haemin Sunim, seorang biksu ternama asal Korea Selatan dan penulis buku, menghabiskan waktunya untuk memimpin berbagai program terapi dan mengajarkan kebahagiaan lewat Twitter.
Biksu Haemin Sunim : Sebarkan Kebahagiaan Lewat Twitter
Diwawancari oleh The Telegraph, dia mengatakan, aku lebih ahli dalam mempersingkat pesanku dan membaginya menjadi empat atau lima kalimat. “Di masa kini, manusia memiliki rentang perhatian yang sangat pendek. Jadi, orang-orang sangat menyukainya,” ujarnya.
Haemin kemudian bercerita bahwa ide tersebut awalnya muncul ketika dia sedang memimpin grup terapinya yang dihadiri oleh para generasi muda Korea Selatan. Begitu banyak anggota terapi yang meminta nasihatnya untuk hidup lebih bahagia sehingga Haemin pun memutuskan untuk mempublikasikannya di Twitter agar dapat diakses oleh semua orang
Apa kunci kebahagiaan menurut Haemin?.
anak ini mengalami kebahagiaan
Dalam bukunya yang berjudul The Things You Can See Only When You Slow Down, Haemin menjelaskan bahwa kalaupun Anda terlalu sibuk untuk bermeditasi, mengambil waktu sebentar untuk bernafas lega akan membantu Anda menjadi lebih bahagia.
Mengapa kita tak berbahagia? Tanyanya. Menurutnya, Setelah menemukan bahwa rasa takut sebagai akar emosionalnya, ia masuk lebih dalam ke wilayah batinnya dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya membuatnya takut?” Pertanyaan ini lalu membuatnya tersadar bahwa ia memiliki ketakutan ketika tidak lagi bisa menyediakan apa pun yang dibutuhkan orang-orang yang menggantungkan hidup kepadanya. Setelah menyadari ini dalam keheningan, secara tiba-tiba Biksu
Dia melanjutkan, aku sering kali mendengar bahwa orangtua masa kini lebih mudah mendapatkan perhatian anak-anak mereka melalui pesan singkat. Kita sangat terkoneksi satu sama lain, tetapi di saat yang sama kita juga sangat kesepian. (Kompas.com)
Merawat Kebahagiaan ala Biksu Haemin Sunim :
Jumat, 5 Juli 2024, sekitar pukul 20:00 waktu Seoul. Seorang pria, berkepala plontos, dengan jubah Buddhis Zen abu-abu muncul di layar. Pria itu berkata, “Di Seoul cuacanya sedang bagus hari ini, meskipun kami memang sedang masuk ke masa-masa musim penghujan.” Pria yang berbicara soal cuaca di Seoul malam itu bukan kaleng-kaleng. Dialah Haemin Sunim, seorang biksu Buddhisme Zen dari Biara Buddhis Haein di Korea Selatan. Latar belakang pendidikan Biksu Sunim juga bukan kaleng-kaleng, karena ia pernah mencecap pendidikan di universitas kondang di dunia, seperti Universitas Berkeley, Harvard, dan Princeton. Biksu Sunim juga mengajar religi Asia di Hampshire College di Massachusetts, Amerika Serikat selama tujuh tahun.
Biksu Haemin Sunim tampil di layar seminar web senja itu demi mempromosikan buku terbarunya, When Things Don’t Go Your Way: Zen Wisdom for Difficult Times (2024). Sebelumnya, Biksu Sunim telah menulis dua buku, The Things You Can See Only When You Slow Down (2017) dan Love for Imperfect Things (2018). The Things You Can Only When You Slow Down sendiri adalah permenungan Biksu Haemin Sunim atas dunia modern yang bergerak cepat, hampir-hampir tak terkendali. Gerak serba cepat ini sendiri, dalam pandangan Biksu Haemin Sunim, hanya menyisakan sedikit ruang untuk bersyukur atas hal-hal kecil dalam kehidupan. Sementara itu, dalam Love for Imperfect Things, Biksu Sunim mengingatkan agar kita sepenuhnya menerima kekurangan diri sendiri untuk merajut kembali hubungan dengan diri dan orang lain yang membahagiakan. Untuk mencapai kesempurnaan, terutama dalam konteks cinta kasih, pertama yang harus kita bereskan adalah urusan dengan diri kita sendiri tutup Haemin Sunim.(Ring-o)
Belajar mencintai dan mengasihi.
Dalam diskusi yang terjadi pada kesempatan seminar web tersebut, Biksu Sunim mendapatkan pertanyaan yang cukup menarik dari seorang panelis. Tema pertanyaannya adalah tentang memberi perhatian tentang diri sendiri (self-care). Biksu Sunim mengajak kita menyadari bahwa memang ada banyak hal di dunia ini yang bisa memantik rasa sengsara dalam diri kita. Namun demikian, ada sisi lain yang perlu kita kembangkan, yaitu kesadaran bahwa diri kita berharga. Dalam bukunya yang lain, Love for Imperfect Things, Biksu Sunim menulis bahwa kita perlu benar-benar menyadari bahwa “siapa pun diriku, aku layak untuk mendapatkan cinta kasih.” Setelah kita tahu akar dari kesengsaraan dan penderitaan yang sering dialami, rasanya kita juga perlu mampu untuk mencintai dan mengasihi diri kita sendiri. Itulah keseimbangan yang akan membawa kita mampu menjalani kehidupan dengan lebih bahagia.
Lebih lanjut, Biksu Sunim menegaskan bahwa mencintai diri itu aspek yang penting untuk bisa mencapai bahagia yang sejati. Orang kebanyakan juga tidak jarang secara umum melekatkan egoisme sama dengan memberi perhatian pada diri sendiri. Padahal, menurut Biksu Sunim, memberi perhatian pada diri sendiri adalah bentuk penghargaan atas eksistensi kita sebagai manusia yang memang memiliki kelayakan untuk dikasihi. Sementara itu, egoisme memaksa orang lain dan sesama untuk “memenuhi” kebutuhan cinta kasih yang kita butuhkan. Sederhananya, ini adalah soal tahu batas. Sejauh kebutuhan cinta kasih itu tidak melebihi batas kewajaran, itulah sebentuk perhatian yang pantas untuk diri kita. Namun, ketika kebutuhan akan cinta itu melebihi batas wajar, rasanya kita sudah menjadi egois.(Ring-o)